Pengertian Psikologi dalam Lintasan Sejarah

Pengertian Psikologi. Secara etimologis, istilah psikologis berasal dari bahasa yunani, yaitu dari kata psyche yang berarti ”jiwa”, dan logos yang berarti ”ilmu”. Jadi, secara harfiah, psikologi berarti ilmu jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan (Alex Sobur, 2009: 19).

Begitulah untuk rentang waktu yang relatif lama, terutama ketika masih merupakan bagian atau cabang dari filsafat, psikologi diartikan seperti pengertian tersebut. ”pada masa lampau,” demikian kata Paul Mussen dan Mark R. Rosenzwieng dalam buku mereka, psychology an Introduction, ”psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari mind (pikiran), namun dalam perkembangannya, kata mind berubah menjadi behavior (tingkah laku), sehingga psikologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia (Mussen & Rosenzwieng, dalam Alex Sobur, 2009: 20).

Sementara ahli memang kurang sependapat bahwa psikologi sama dengan ilmu jiwa walaupun ditinjau dari arti kata kedua istilah itu sama. W.A Gerungan adalah salah satu diantara para ahli psikologi yang tidak sependapat. Menurutnya,
  1. Ilmu jiwa itu merupakan istilah bahasa Indonesia sehari-hari dan yang   dikenal tiap-tiap orang, sehingga kami pun menggunakannya dalam artiannya yang luas dan telah lazim dipahami orang. Adapun kata psikologi adalah merupakan istilah ilmu pengetahuan, suatu istilah yang scientific, sehingga kami pergunakan untuk menunjukan pengetahuan ilmu jiwa yang bercoarak ilmiah tertentu.
  2. Ilmu jiwa kami gunakan arti yang lebih luas daripada istilah psikologi. Ilmu jiwa meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan, dan juga segala khayalan dan spekulasi mengenai jiwa itu. Psikologi meliputi ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode-metode ilmiah yang memenuhi syarat-syaratnya seperti yang dimufakati para sarjana psikologi pada zaman sekarang ini. Istilah ilmu jiwa menunjukan ilmu jiwa pada umumnya, sedangkan istilah psikologi menunjukan ilmu jiwa yang ilmiah menurut norma-norma ilmiah modern (Gerungan, dalam Alex Sobur, 2009: 20). 
Dari kutipan panjang ini, dapat diambil kesimpulan bahwa apa saja yang disebut ilmu jiwa belum tentu psikologi, sebaliknya apa yang disebut psikologi itu termasuk ilmu jiwa.

Tampaknya, para ahli psikologi modern, belakangan ini memang tidak lagi mengartikan psikologi sebagai ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan, sebab apa yang dimaksud dengan jiwa itu tidak ada seorang pun yang tahu persis. Malah, jauh-jauh hari, Thomas Alva Edison (1847-1931) pernah berujar, ”My mind is incapable of conceiving such a thing as a soul” (Pikiran saya tidak mampu untuk memahami hal sepeti jiwa). Ini disebabkan jiwa yang mengandung arti sangat abstrak itu sukar dipelajari secara objektif.
Jadi, amat sukar untuk mengenal jiwa manusia karena sifatnya yang abstrak. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah mengobservasi prilakunya, meskipun prilaku bukan merupakan percerminan jiwa secaar keseluruhan. Itulah sebabnya, Allah SWT. menegaskan dalam firman-Nya yang artinya:
Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang jiwa atau roh, maka katakannlah bahwa jiwa (roh) itu adalah urusan Tuhan dan kamu tidak diberi pengetahuan (tentang jiwa itu) kecuali sedikit saja (Q.S. Al-Isra’, 17: 85).
Pengertian psikologi, psikologi, pengertian, psycho
Pengertian Psikologi dalam Lintas Sejarah
Ayat tersebut bukan berarti menutup kemungkinan untuk mengkaji tentang jiwa. Meskipun hanya sedikit, ayat itu mngisayaratkan bahwa jiwa atau roh adalah sesuatu yang bisa dipelajari. Namun yang paling penting untuk dikatakan disini adalah bahwa roh dan jiwa (roh yang telah mempribadi) setidak-tidaknya merupakan suatu konsep yang bisa dipelajari sebagai subtansi tersendiri, apabila Al-Qur’an juga menunjukan berbagai aspek yang sifatnya bisa diubah dam dikembangkan. Memang, dengan mengatakan hal tersebut, Al-Qur’an mengisyaratkan agar manusia mengarahkan studinya pada hal-hal yang lebih konkret dan bermanfaat bagi manusia, misalnya mengenai prilaku manusia itu sendiri. Akan tetapi pembicaraan secara mendalam dan khusus mengenai jiwa, walupun tetap berkaitan dengan raga, agaknya tidak terlelakan dalam kegiatan berfikir. Plato dapat disebut orang pertama yang memulai studi tentang objek yang lebih khusus ini (Rahardjo, dalam Alex Sobur, 2009: 21). Ia mulai membedakan antara jiwa dan raga sedemikian rupa sehingga orang memperoleh pengertian psikologi mengenai adanya konsep dualisme jiwa-raga. 

Dalam teorinya tentang ”Pengingatan-kembali”, plato mengungkapkan dua proposisi (Ash-Shadr dalam Alex sobur, 2009: 21). Pertama, jiwa sudah ada sebelum adanya badan di dalam yang lebih tinggi daripada alam materi. Kedua, pengetahuan rasional tidak lain adalah pengetahuan tentang realitas-realitas yang tetap di dalam yang lebih tinggi, yang oleh plato disebutdengan archetypes. 
Plato, dengan dua proposisi di atas, jelas menekankan lebih pentingnya jiwa daripada raga dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, tubuh mempunyai nilai yang lebih rendah dari jiwa. Akan tetapi, jiwa pun bisa rusak juga, dan kerusakan itu berasal dari badan. Muridnya, Aristoteles, mempunyai pendapat yang berbeda denganya. Ia melihat dalam kesatuan badan-jiwa. Namun, pandangannya juga mengandaikan adanya badan dan jiwa yang berbeda, walaupun dalam asensinya menolak pandangan yang dualitas. 

Menjelang abad modern, dalam kurun pencerahan Eropa Barat, tokoh yang tampil dalam pembahasan dualisme jiwa-badan adalah Rne Descartes (1596-1650) yang terkenal dengan ungkapan ”cogito Ergo Sum” (saya berpikir, karena itu saya ada). 

Berbeda dengan plato, yang melihat hubungan jiwa dan badan sebagai pembagian fungsi antara badan sebagai kapal dan jiwa sebagai nakodanya, yang mengemudikan dan memimpin, Descartes melihat kesalingterkaitannya, yaitu jiwa pada hakikatnya mengarah ke badan, kalau badan sakit jiwa turut merasakannya. Akan tetapi, jiwalah yang memberi kesadaran dan arti pada badan dan menunjukan adanya ”aku”. Keduanya berbeda, namun saling berkaitan. Badan dilukiskan sebagai mesin yang, walaupun ada subtansinya, belum bisa dibilang manusia jika tidak ada jiwanya yang bisa mengatakan ”aku”. Dan perkataan ”aku” ini lahir ketika subtansi itu mulai berpikir.

Sebagai dampak lebih lanjut dari konsep dualisme diatas, lahir berbagai pendapat yang bertentangan dan membentuk kutub-kutub pendapat mengenai kedudukan adan hubungan jiwa-raga, dan selanjutnya melahirkan berbagai pendapat yang terletak diantara dua kutub itu. 

Akibat perbedaan pendapat diantara filsuf-filsuf yunani itu, pada perkembangan berikutnya muncul bermacam-macam aliran (Poerwantana, dalam Alex Sobur, 2009: 22), yaitu: 
  1. Golongan materrialisme mengatakan bahwa jiwa tidak lain hanya jiwa (badan), dan tidak ada sifat-sifat khusus padanya. 
  2. Golongan spiritualisme menganggap bahwa jiwa tidak berasal dari alam kebendaan, tetapi dari alam ketuhanan dan mempunyai kekuatan kekuatan-rohami, yang turun kebawah dan dari alam yang tinggi. 
  3. Ada yang berpendapat tengah-tengah dan menganggap jiwa sebagai campuran antara badan dan roh, atau uap yang panas seperti yang dikatakan kaum stoa, atau jiwa itu gambaran badan seperti pendapat aristoteles dan pengikut-pengikutnya.
Filsuf-filsuf besar yunani mempelajari berbagai gejala jiwa, dan mereka dapat membedakan perasaan dan pemikiran. Buku-buku yang dikarang oleh mereka dalam lapangan ilmu jiwa berpengaruh juga kepada kaum muslimin. Diantaranya ialah buku-buku:
  1. Phaedo dan Temaieus oleh Plato.
  2. De Anima (jiwa) dan Parva Naturalia (alam kecil) dari aristoteles.
  3. On Sense Perception (tentang pengenalan indra) dari Theophrastus (meninggal 286 M).
  4. Tentang jiwa (An-Nafs) dari Alexander dari Aphrodisias.
  5. Ulasan-ulasan terhadap buku Aristoteles, Anima, dari Themisitus dan lamblichus (aliran Iskandariah).
  6. Buku-buku kedokteran dari Hyppocrates dan Galenus.
  7. Buku-buku dari Plotinus, yaitu Theologia dan Kebaikan Murni yang mempunyai peranan penting dalam pembahasan kaum muslimin tentang jiwa.

Buku-buku tersebut diketahui oleh kaum muslimin, baik langsung ataupun tak langsung, dan menjadi bahan yang baik bagi mereka.

Golongan teologi islam dan orang-orang sufi bisa dianggap sebagai orang yang pertama-tama memperluas tentang pembahasan jiwa meskipun kadang-kadang terdapat keganjilan-keganjilan dan perlawanan didalamnya. Mereka berusaha untuk menguraikan hakikat jiwa serta macam-macamnya dan menetapkan kebaruan serta kemahlukannya sebelum bertempat di badan, kemudian membuktikan keabadian jiwa sesudah berpisah dari badan. 

Pendapat ulama kalam terbagi tiga bagian, seperti yang terdapat pada filsuf-filsuf Yunani, yaitu aliran materialisme, aliran spiritualisme, dan aliran tengah-tengah.

Ibnu Sina memberikan perhatian khusus terhadap pembahasan kejiwaan ini (Peorwantara dalam Alex Sobur, 2009: 23). Ia banyak menjadikan pikiran-pikiran Aristoteles sebagai sumber pikirannya. Namun, hal itu tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri yang berbeda dengan pikiran-pikiran sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun segi metafisika. Dalam segi fisika, ia banyak memahami metode eksperimen dan banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dari segi metafisika, terdapat kedalaman dan pembaharuan yang menyebabkan ia mendekati pendapat filsuf-filsuf modern. Segi metafisika ini pula yang lebih menonjol dalam pembahsan-pembahsan kejiwaannya.

Pengaruh Ibnu Sina dalam soal penjiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke-10 Masehi sampai akhir abad ke-19 Masehi, maupun pada filsafat skolastik Yahudi dan Masehi, terutama pada Gundissalinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Dun Scot. Bahkan, ada juga pertaliannya dengan pikiran-pikiran Descartes tentang hakikat jiwa dan wujunya.

Lapangan kejiwaan Ibnu Sina lebih banyak menarik perhatian pembahas-pembahas masa modern daripada segi-segi filsafatnya, antara lain berupa penerbitan buku-buku karangannya dan kupasannya serta tinjaun terhadap pandangan-pandangannya tentang kejiwaan. Diantara mereka ialah:
  1. S. Landauser yang menrbitkan karangan Ibnu Sina yang berjudul Risalatul- Quwa An- Nasiah (Risalah tentang Kekuatan Jiwa), tahun 1875, berdasarkan teks asli Arab dan teks-teks Ibrani serta Latin.
  2. Carra de Vaux dalam bukunya Avicenna.
  3. Dr. Gamil Saliba dalam bukunya Etude sur la Metaphysique d’Avicenna (Tinjauan tentang Segi Metafisika Ibnu Sina).
  4. Dr. Usman Najati dalam bukunya Nadlariat al- Idrak al- hissi’inda Ibnu Sina (Teori Persepsi Indra pada Ibnu Sina).
  5. B. Haneberg yang mengarang buku Zur Erkentnislehre von Ibnu Sina (Tentang Teori Pengenalan pada Ibnu Sina).
Segi-segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi dua segi, yaitu: 
  1. Segi fisika, yang membicarakan macam-macam jiwa, pembagian kebaikan-kebaikan, jiwa manusia, indra, dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam ilmu jiwa yang sebenarnya.
  2. Segi metafisika, yang membicarakan wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan, dan keabadian jiwa.
Apapun pendapat manusia tentang jiwa, tentulah masih serba terbatas. Karena keterbatasan pengetahuan manusia tentang jiwa atau roh ini, timbulah berbagai pendapat mengenai definisi tentang psikologi yang saling berbeda.

No comments for "Pengertian Psikologi dalam Lintasan Sejarah"