Kesenian Cingcowong

Cingcowong merupakan kesenian yang berasal dari Kabupaten Kuningan, Jawa Barat yang kira-kira pada tahun 1960-an, di kampung Wage, Desa Luragunglandeuh, Kecamatan Luragung, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, seorang yang bernama Eyang Nata menciptakan satu kesenian tradisional dengan bentuk ritual yang kemudian dikenal dengan nama Cingcowong. Cingcowong berasal dari kata cing dan cowong. Kata cing dalam Kamus Bahasa Indonesia - Sunda memiliki arti yang sama 'cik', yang berarti coba dalam bahasa Indonesia. Kata cowong dalam bahasa Indonesia berarti biasa berbicara keras. Jadi dari segi bahasa Cingcowong memiliki arti biasa berbicara keras. Cingcowong berasal dari kata “cing” yang berarti “teguh” (dalam bahasa Indonesia artinya ‘terka’) dan “cowong” merupakan kependekan dari kata “wong” yang dalam bahasa Jawa berarti ‘orang’. Maka dengan demikian jika disatukan kata “cingcowong” tersebut memiliki arti: ”coba terka siapa orang ini”. Hal ini karena bahasa yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat Desa Luragung merupakan campuran antara bahasa Jawa dan bahasa Sunda dimana desa ini merupakan desa terujung di Kabupaten Kuningan yang berbatasan dengan kabupaten Brebes di Jawa Tengah yang menggunakan bahasa Jawa.

Ritual kesenian cingcowong kabupaten kuningan jawa barat indonesia, west java, indonesia, cingcowong
Ritual kesenian Cingcowong Kabupaten Kuningan, Sumber: Merdeka.com

Ritual kesenian tradisional ini diwariskan turun-temurun kepada keturunan asli dari Eyang Nata, sekarang ritual ini sering dilangsungkan oleh Ibu Nawita yang mendapatkan warisan ini sebagai keturunan ke-4 dari Eyang Nata. Kesenian Cingcowong merupakan pertunjukan yang dipergelarkan pada keadaan tertentu, yaitu pada saat dimana terjadi kemarau yang panjang sampai 3 hingga 4 tahun lamanya secara berturut-turut dan dilakukan secara sukarela atas dasar kesadaran masing-masing dengan tujuan untuk membantu memakmurkan masyarakat luas. Dengan tujuan utamanya ialah ritual memanggil hujan.

Ritual Cingcowong sering ditampilkan sejak 1960 hingga 1995, baik permintaan khusus atau permintaan dari Disparbud sebagai bentuk pelestarian. Sering pula dipentaskan ditingkat Provinsi Jawa Barat dan dalam lingkup nasional di TMII (Taman Mini Indonesia Indah), Jakarta.

Namun sejak tahun 1996 sampai hari ini, kesenian cingcowong jarang dipergelarkan, dikarenakan curah hujan yang stabil di Indonesia. Kesenian tradisional Cingcowong masih tetap dilestarikan hingga kini dengan tujuan agar melestarikan agar generasi muda mengetahui, memahami, mencintai, dan ikut melestarikan kebudayaan kesenian tradisional cingcowong yang juga merupakan aset kesenian dan kebudayaan Pemerintah Kabupaten Kuningan yang harus dijaga.

Perlatan yang digunakan dalam ritual kesenian Cingcowong adalah sebagai berikut:
  1. Bubu (buwu dalam Bahasa Sunda), alat untuk menangkap ikan atau perangkap ikan yang terbuat dari anyaman bambu yang digukan sebagai badab Cingcowong.
  2. Gayung (siwir dalam Bahasa Sunda), sebagai kepalanya dan didandani sehingga menyerupai wajah wanita cantik, bentuk ungkapan sebagai jelmaan bidadari dan pakaian yang digunakan yaitu kebaya panjang dengan sabuk kain putih (sampur), sebagai hiasan dileher sebagai kalung menggunakan rangkaian bunga kamboja yang diambil dari kuburan.

Alat-alat pengiring yang digunakan pada pagelaran ritual Cingcowong:
  1. Bakor, jambangan yang terbuat dari kuningan, yang akan dipukul sebagai ketukan (cneng).
  2. Buyung (tempayan) untuk mengatur irama yang dipukul dengan kipas yang terbuat dari anyaman bambu.
  3. Tangga yang terbuat dari bambu dengan fungsi untuk membawa atau menyambut turunnya arwah lelembut atau dalam peribahasa untuk menyambut turunnya bidadari.
  4. Tikar pandan, tikar terbuat dari anyaman pandan yang biasa digunakan sebagai alas orang yang meninggal dunia (mayat), yang berfungsi sebagai alas tempat duduk pagelaran tersebut.
  5. Ruas bambu yang dipukul-pukul untuk mengiringi irama.

Pelaksanaan Pagelaran Cingcowong pada malam Jumat, kisaran pukul 17.00, Cingcowong disimpan di parit kecil (comberan), kemudian dengan mantra-mantra Cingcowong tersebut diisi dengan arwah penasaran yaitu arwah wanita penasaran yang tidak sempurna meninggalnya, biasanya wanita yang meninggal karena bunuh diri, gantung diri, atau wanita yang meninggal dunia ketika sedang hamil tua, peribahasa untuk memanggil arwah ini disebut dengan nyambat arwah bidadari.

Kurang lebih pukul 20.00, jam 8 malam, pagelaran dimulai diawali dengan suara jambangan atau bokor kuningan yang dipukul-pukul dan disusul oleh suara tempayan yang dipukul-pukul dengan kipas terbuat dari anyaman bambu untuk mengatur irama ditambah denngan suara bambu yang dipukul-pukul maka datanglah 2 orang perjaka masuk ke arena dengan membawa tangga yang terbuat dari bambu untuk menyambut kedatangan Cingcowong yang sudah dirasuki arwah lelembut atau jurig jarian/arwah bidadari.

Cingcowong tersebut dibawa oleh Ibu Nawita sebagai ahli waris dari kesenian tersebut yang didampingi oleh 4 wanita yang masih keturunan Ibu Nawita atau Eyang Nata dengan membawa kain panjang memasuki arena pentas kesenian Cingcowong. Setelah itu datanglah ketua adat (dukun) yaitu seorang kakek-kakek sambil membawa kemenyan yang telah dibakar memasuki arena kemudian setelah itu terdengarlah lagu berlaras Salendro yang dinyanyikan oleh Ibu Nawita.

Kalimat nyanyian untuk memanggil Cingcowong

Cingcowong cingcowong
Bil guna bil lembayu
Salala lala lenggui
Aya panganten anyar
Aya panganten anyar
Lili lili pring
Denok simpringan ngali lirong
Mas borojol gedog
Mas borojol gedog
Lili liguling
Gulingna sukma katon
Layoni putra maukun
Maukun mangundang dewa
Aning dewa aning sukma
Jak rujak ranti
kami junjang kami loko
Pajulo-julo
temu bumiring mandiloko

Di tengah ruangan Nawita memangku boneka masuk arena dan berjalan diantara anak taraje diikuti oleh Itit dan Waskini secara beriringan dari ujung awal sampai ujung akhir taraje bolak balik selama tiga kali. Kemudian Nawita duduk ditengah-tengah tangga sambil tetap memangku boneka. wajah boneka Cingcowong diperlihatkan ke arah cermin kecil yang dipegangi oleh Waskini yang duduk menghadapi boneka sambil memegangi sabuk yang dikenakan boneka. Setelah selesai memperlihatkan muka boneka melalui kaca, selanjutnya Nawita memegang sisir yang digerakkan di atas kepala boneka seolah-olah sedang menyisiri rambut.

Di sampingnya duduk Itit sambil ikut memegangi sabuk yang dikenakan boneka karena boneka sudah mulai bergerak mengikuti alunan lagu, semakin lama boneka semakin bergerak ke arah kanan, kiri dan ke depan seperti tidak terkendali, tetapi tetap dipegang oleh ketiga orang tersebut. 

Boneka Cingcowong ini mulai bergerak setelah kalimat terakhir dari lagu tersebut diucapkan. Setelah kalimat terakhir diucapakan, pada lagu/kidung/nyanyian di atas, Cingcowong mulai bergerak dan lari mengejar penonton yang tidak percaya bahwa Cingcowong tersebut telah dirasuki arwah lelembut, dan bisa jadi Cingcowong mengejar-ngejar karena suka pada orang tersebut, atau pada orang yang mengolok-oloknya dengan kata-kata “Cingcowong cingcowong, hulu canting awak buhu”.

Pada saat pagelaran dilaksanakan, ketua adat membawa ember berisi air dan diciprat-cipratkan atau disiramkan kepada para penonton sambil mengucapkan kata-kata:

Hujan….
Hujan….
Hujan….
Ritual kesenian cingcowong kabupaten kuningan jawa barat indonesia, West Java, Indonesia, cingcowong
Cingcowong
Anggota dalam pagelaran tersebut berjumlah 10 orang, yaitu:
  1. 1 orang pemukul jambangan/bokor
  2. 1 orang penabuh tempayan
  3. 2 orang pembawa tangga
  4. 4 orang pembawa kain panjang
  5. Ibu Nawita sebagai pemeran utama (Punduh), yang memegang peranan penting dalam pagelaran Cingcowong.
  6. Seorang kakek-kakek, ketua adat (dukun) yang membawakan kemenyan.

Beberapa properti lain yang dibutuhkan diantaranya: menyan, kaca, sisir, ember, telur asin, tumpeng kecil atau biasa disebut congcot, cerutu, gula batu aneka penganan kue, kembang rampe tujuh warna, dan lain-lain seperti yang sudah dikemukakan di atas.

* data diolah dari berbagai sumber.